Sabtu, 30 Juli 2011

Ulumul Qur'an

SEJARAH PENULISAN AL-QUR’AN

Penulisan atau Penghimpunan Al-qur’an memiliki dua pengertian.
Dalam surah al-qiyamah: 17 Allah berfirman; sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penghimpunanya (didalam dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya
Kata penghimpunanya (jam’ahu) bermakna “penghafalannya”. Orang yang hafal Al-qur’an disebut Jumma’ul-Qur’an atau huffazul-Qur’an. Makna lain dari kata penghimpunannya (jam’ahu), ialah “penulisannya” yakni penulisan al-Qur’an yang terpisah kemudian disatukan menjadi satu.

Tentang pengumpulan ayat Al-Qur’an, prosesnya melalui tiga periode dalam zaman pertumbuhan islam.
Periode pertama, semasa hidup Rosulullah, periode kedua pada masa kekhalifahan Abu bakar as-shiddiq r.a dan pada periode ketiga pada masa kekhalifahan Utsman bin ‘Affan r.a.

1. kodifikasi al-Qur’an masa Rosulullah :
sebagaimana kita ketahui, Rosulullah mempunyai beberapa orang pencatat
wahyu. Diantaranya, empat orang sahabat yang kemudian menjadi para khalifah rasyidin (abu bakar, umar, ustman dan Ali), mu’awiyah, zaid bin tsabit, khalid in al-walid, ubay bin ka’ab tsabit bin qais. Beliau menyuruh mereka mencatat setiap wahyu yang turun, sehingga al-qur’an yang terhimpun didalam dada menjadi kenyataan tertulis.
Al-hakim di dalam al-mustadrak mengutip sebuah hadis dengan isnad menurut bukhari dan muslim serta berasal dari zaid bin tsabit yang mengatakan : “dikediaman rosulullah kami dahulu menyusun ayat-ayat al-qur’an yang tercatat pada riqa”. (al-itqan 1 hal.99 dan alburhan 1 hal 237). Kata riqa’ adalh jamka dari kata rug’ah yang berarti lembaran kulit, lembaran daun atau lembaran kain.
Para sahabat nabi mencatat ayat-ayat di permukaan batu, diatas pelepah kurma, pada tulang-tulang unta dan kambing yang telah kering, diatas pelana kuda dan dilembaran-lembaran kulit .
Yang dimaksud “menyusun ayat-ayat Al-qur’an dari riqa’ diatas tadi ialah menyusun surah –surah dan ayat-ayat menurut petunjuk rosulullah”. Adapun mengenai aya-ayat pada masing-masing surah dan pencantuman basmalah pada permulaan tiap ayat dan penyusunannya, tidak diragukan lagi sesuai dengan petujuk rasulullah.
Banyak sekali hadist yang melukiskan bagaimana rasulullah mengdiktekan ayat-ayat kepada para pencatat wahyu dan memberi petunjuk tentang susunan dan urutannya. Sebagai contoh silahkan lihat shahih bukhari bab ke 18 tentang tafsir al-qur’an :bab ke 97 tentang hokum :dan musnad Ahmad bin Hanbal III, hal 120 serta jid IV, 381.
Sudah merupakan kepastian Rasulullah membaca berbagai surah menurut susunan ayatnya masing-masing didalam shalat, atau pada khutbah shalat jum’at, disaksikan para sahabat. Kenyataan itupun bukti terang yang menyatakan tentang bahwa susunan dan urutan ayat-ayat memang sesuai dengan kehendak dan petunjuk nabi.
Sesungguhnya, setiap ayat yang dicatat disimpan dirumah rasulullah, sedang para pencatat membawa salinannya untuk mereka sendiri. Sehingga terjadilah saaling control antara naskah yang berada ditangan para pencatat wahyu itu danlembaran-lembarab al-Qur’an yang berada dirumah rasulullah saw. Disamping itu ada control lain dari penghafal al-Qur’an dikalangan sahabat nabi, baik yang buta huruf maupun yang tidak. Keadaan itulah yang menjamin Al-Qur’an tetap terjaga dan terpelihara keasliannya, sebagaimana yang ditegaskan Allah
“kamilah yang menurunkan al-qur’an dan kami (jugalah) yang menganya (al-hijr,9).”

2. kodifikasi al-Quran zaman Abu Bakar ash-shidiq ra.:
Al-Qur’n seluruhnya rampung ditulis pada masa Rasulullah masih hidup, hanya saja ayat-ayat dan surah-surahnya masih terpisah. Orang pertama yangmenghipun al-Qur’an sesuai kehendak Rasulullah adalah Abu Bakar ash-iddiq. Abu ‘Abdullah al-Muhasabi mengatakan dalam buku Fahmus-Sunan : “Penulisan al-Qur’an bukan soal baru, karena Rasulullah sendiri telah memerintahkan penulisannya. Tapi ketika itu masih tercecer pada berbagai lembaran- lembaran kulit yang terdapat di dalam rumah Rasulullah saat itu masih dalam keadaan terpisah-pisah. Kemudian dikumpulkan oleh seorang sahabat, lalu diikatnya dengan tali agar tidak ada yang hilang” (al-burhan I, hal 238 dan al-itqan I, hal 101).
Abu bakar memerintahkan kodifikasi al-Qur’an seusai perang yamamah, tahun k-12 H, perang antara muslimin dan kaum murtad (pengikut Musailamah al-Kadzdzab yang mengaku dirinya nabi baru) di mana 70 penghafal al-Qur’an di kalangan sahabat nabi gugur. Melihat kenyataan itu ‘umar bin khatab ra. Merasa sangat khawatir, lalu mengusulkan supaya diambil langkah untuk usaha kodfikasi al-Qur’an. Bukhari meriwayatkan sebuah hadis didalam sahihnya, bahwa Zaid bin Tsabit ra.menceritakan kesaksiannya sendiri sbb:

“disaat berkecamuknya perang yamamah, abu bakar minta supaya aku datang kepadanya. Setibanya aku dirumahnya, kulihat “umar bin khatab sudah berada disana. Abu bakar lalau berkata: “umar datang kepadaku melaporkan bahwa perang yamamah bertambah sengit dan banyak para penghafal al-Qur’an yang gugur. Ia khawatir kalau-kalau peperangan yang dahsat itu akan mengakibatkan lebih banyak lagi para penghafal al-alqur’an gugur. Karena itu ia berpendapat sebaiknya aku segera memerintahkan kodifikasi al-Qur’an”. Kukatakan kepada ‘umar: bagaimana mungkin kita melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rosulullah saw?! ‘ umar menyahut ‘demi Alah, itu (kodifikasi al-Qur’an )adalah kebaikan’. ‘umar berulang-ulang mendesak dan pada akhirnya Allah membukakan dadaku sehingga aku sependapat dengannya”. Dala kesaksian itu zaid bin tsabit lebih jauh mengatakan: “Abu bakar berkata kepaddaku : ‘engkau seorang muda,cerdas dan terpercaya. Dahulu engkau bertugas sebagai pencaatat wahyu membantu Rasulullah. Dan seterusnya engkau mengikuti al-Qur’an. Demi Allah kata Zaid lebih lanjut – seumpama orang membebani kwajiban kepadaku untuk memindahkan sebuah gunung, kurasa tidak lebih berat daripada perintah kodifikasi al-Qur’anyang diberikan kepadaku! Kukatakan kepada Abu bakar ra : ‘bagaimana kita boleh melakukan suatu pekerjaan yang tidak dilakukan oleh Rosulullah ?! Abu bakar menjawab : ‘Demi Allah, pekerjaan itu adalah kebajikan!’ Abu Bakar terus-menerus menghimbau sampai Allah membukakan dadaku sebagaimana Allah telah membukakan dada Abu Bakar dan Umar. Kemudian aku mulai bekerja menelusuri ayat-ayat dan kuhimpun dari catatan-catatan, pada pelepah-pelepah kurma, batu-batu( tembikar) dan didalam dada para penghafal al-Qur’an.akhir surat Attaubah kutemukan pada Abu Khuzaimah al-anshari, tidak ada pada orang lain, yaitu firman Allah :sesunguhnya telah datang kepada kalian seseorang Rosul dari kaum kalian sendiri, ia turut merasakan betapa berat penderitaan kalian…” dsan seterusnya hingga akhir (attaubah128-129).lembaran-lembaran al-Qur’an itu berada pada Abu Bakar hingga saat wafatnya, kemudian pindah ketangan umar dan setelah umar wafat seluruh lembaran disimpan Hafshah binti ‘umar”

Mungkin orang menjadi bingung membaca pernyatan zaid bintsabit yang mengatakan, ia tidak menemukan akhir surat attaubah kecuali pada Abu Khuzaimah al-Anshari. Akan tetapi kebingungan itu akan segera hilang jika difahami benar pernyataan Zaid yang maksudnya adalah : ia tidak menemukan akhir surat at-Taubah dalam bentuk tertulis kecuali pada Abu Khuzaimah. Pernyataan dengan kalimat demikian itu cukup dapat diterima karena banyak para sahabat Nabi yang hafal, bahkan Zaid sendiripun dikenal sebagai penghafal.dengan pernyataan itu Zaid hendak memperlihatkan sikapnya yang hati-hati dan menunjukan bahwa al-Qur’an yang dihafal para sahabat diperkuat kebenarannya oleh naskah-naskah tertulis.
Untuk dapat diterimanya setiap ayat harus ddibuktikan kebenarannya oleh dua kesaksian, yaitu melalui hafalan dan tulisan.

Perintah kodifikasi al-Qur’an oleh Abu Bakar selesai dilaksanakan dalam waktu satu tahun. Zaid menerima perintah beberapa saaat setalah berakhirnya perang yamamah dan rampung beberapa waktu menjelang wafatnya Abu Bakar ra.
Kodifikasi tersebut kemudian pindah ketangan umar hingga khalifah kedua itu juga wafat. Setelah umar wafat mushaf disimpan Hafshah binti umar.



3. Kodifikasi al-Qur’an zaman utsman ra :
Setelah umar wafat, hati usman tergerak untuk memperbaikinya.
Sepulangnya Huzaifah Al Yamani dari perang Armenia dan Azerbeujan, dia menghadap khalifah usman, mengatakan kekhawatirannya tentang perbedaan umat islam dalam membaca Al-Qur’an. Katanya pada khalifah usman “bagaimana pendapat tuan dari hal umat yang berbeda-beda membaca al-Qur’an?”
Sebagaimana memerintahkan kepada umar. Maka begitu pula Usman memerintahkan kepada Huzaifah. Usman mengutus orang untuk meminjam mas-haf yang berada di rumah Hafsah binti Umar isri Nabi SAW. Maka Hafsah menyerahkan mas-haf itu kepada Usman. Khalifah usman mengumpulkan orang-orang, diantaranya Zaid bin Tsabit, Abdullah bin Zubair, Sa’id bin ash, Abdurrahman bin Haris, bin Hisam.
Tugas mereka adalah menyalis mas-haf kedalam beberapa naskah sambil menyeragamkan dialek yang digunakan, yaitu dialek Quraisy. Al-Qur’an yang telah disusun dialek yang seragam itu disebut mas-haf ustmani. Usman mengirim enam mas-haf itu ke Mekah, Syam, Yaman, Basrah, Kaufah dan sebuah mas-haf disimpan di madinah. Selanjutnya Usman memerintahkan agar mengumpulkan semua tulisan al-Qur’an selain mas-haf Usmani untuk dimusnahkan hanya boleh menyalin dan memperbanyak tulisan al-Qur’an dari mas-haf yang resmi, yaitu mas-haf usmani.
Mas-haf ini ditulis tanpa titik dan baris


Pemberian titik, baris serta tanda baca:

Mengingat semakin banyak orang non arab yang memeluk agama islam dan kurang memeahami tulisan Kafi maka penulisan al-Qur’anpun disempurnakan.
Abu Aswad ad Duwali, salah seorang tabi’in pada masa muawiyah mengambil inisiatif untuk memberi tanda titik dalam al-Qur’an, titik yang diletakkan diatas huruf menandakan baris fathah (bunyi a), titik dibawah menandakan kasroh (bunyi i), titik disebelah kiri menandakan baris dommah (bunyi u), dan titik dua menandakan tanwin (bunyi nun mati), namun karena tanda baca ini diberikan pada huruf terakhir dari suatu kata tanda-tanda baca ini belum banyak menolong bagi orang yang awam.


Usaha perbaikan tulisan selanjutnya dilakukan oleh Natsir bin Asim dan Yahya bin Ya’mur pada masa Abdul Malik bin Marwan (685-705) dari dinasti Umayah, dengan menambah tanda titik pad huruf-huruf al-Qur’an, titik itu dimaksud untuk membedakan huruf ba, ta,tsa, dan ya. Namun penulisan tersebut masih menimbulkan kesulitan, karena terlalu banyak titik sehingga hampir-hampir tidak dapat dibedakan mana titik, baris, dan mana titik huruf. Kemudian Khalil bin Ahmad bin Amr bin Tamin al Faridhi al Zadi mengubah sisitem baris yang dibuat oleh Abu Aswad ad Duwali. Yaitu mengganti titik dengan huruf alif kecil diatas huruf sebagai tanda fathah (bunyi a), huruf ya kecil sebagi tanda kasroh (bunyi i) dan huruf wa kecil diatas huruf sebagai tanda domah (bunyi u). selain itu ia menggunakan kepala sin untuk tanda syaidah (konsonan ganda). Kepala ha untuk sukun (baris mati) dan kepala ain untuk hamzah. Kholil juga menambah huruf mad, yaitu tanda bahwa huruf itu harus dibaca panjang, dipotong dan ditambah sehinga menjadi bentuk yang ada sekarang.


pada masa Al Makmun (813-833 M), para ahli qiroah menambahkan lagi berbagai tanda dalam al-Qur’an, seperti membuat tanda-tanda ayat, tanda-tanda waqof (berhenti memebaca), serta tanda-tanda ibtida (memulai membaca), dan menerangkan identitas surat pada awal setiap surat. Seperti nama surah, tempat turunnya dan jumlah ayatnya. Tanda-tanda lainnya adalah tanda pemisah antara satu juz.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar